Monday, October 31, 2011

acceptance

Acceptance. What’s that supposed to mean? Stuart Wilde bilang dalam bukunya yang sedang kubaca—The Trick to Money is Having Some—bahwa penerimaan (terhadap seseorang) itu faktor fundamental dalam membentuk mental kelimpahan (abundance). Lebih tepatnya dia bilang, “penerimaan (acceptance) adalah salah satu fondasi untuk menerima (receiving)”, dalam hal ini menerima kelimpahan.

Merenungkan kata acceptance, aku setuju bahwa itu kata yang sangat berat untuk dilaksanakan dalam sikap dan tindakan. Menerima (accept) sesuatu atau seseorang sebagaimana adanya tidak selalu mudah. Misalnya, menerima apa adanya seseorang yang berkepribadian-sulit tentu tidak semudah menerima mereka yang secara umum berkarakter menyenangkan. Mungkin bisa dibandingkan dengan menyukai yang indah dan yang tidak indah. Yang pertama sangat mudah dan nyaris kita lakukan secara alamiah/otomatis, sementara yang terakhir membutuhkan niat dan usaha untuk melakukannya.

Kenapa? Karena sejatinya kita indah dan menyukai keindahan. Sebagaimana Sang Pencipta kita yang maha indah dan mencintai keindahan. Tentu kita mewarisi beberapa nama-nama dan sifat-Nya, karena ruh-Nya ada di dalam diri masing-masing kita.

Kembali kepada soal penerimaan (acceptance), yang pertama dan utama adalah penerimaan terhadap diri sendiri. Nah, aku yakin ini masalah bagi kebanyakan orang. Menerima diri sendiri dengan semua kelebihan dan segenap kekurangan benar-benar bukan perkara mudah. Mungkin cara kita dibesarkan menyumbang pada kesulitan ini.

Dari kecil kita dituntut untuk menjadi sempurna dan dalam banyak hal diharuskan memperoleh persetujuan orang-orang di sekitar kita untuk dapat dicintai. Kalau tindakan kita tidak sesuai dengan norma dan ekspektasi orang-orang itu, kita dihukum. Jadi kita dibesarkan tidak dengan cinta yang gratis. Kita dibesarkan untuk belajar bahwa untuk dicintai kita harus mendapatkan persetujuan orang dan memenuhi standar tertentu. Dengan kata lain, kita belajar untuk tidak menerima diri kita apa adanya.

Lalu, setelah pemrograman yang demikian panjang, kita menyadari bahwa semua itu konyol belaka. Kita sama sekali tidak membutuhkan persetujuan siapa pun untuk dicintai. Nilai diri kita bahkan tidak ditentukan semata-mata oleh apa yang kita lakukan. Sebelum kita melakukan apa pun, Tuhan sudah menjamin martabat kita.

Kita adalah manusia yang Tuhan ciptakan di dunia untuk sebuah tujuan. Untuk menjadi wakil-Nya. Karena itu Tuhan telah membekali kita dengan sumber daya berupa akal dan hati. Kita ini makhluk yang berakal dan memiliki hati nurani. Kita bukan sembarang ciptaan. Kita adalah makhluk potensi. Bisa dikatakan kita ini titisan Tuhan, karena ada ruh-Nya di dalam diri kita. Walaupun juga ada bakat untuk jadi pengikut setan. … hehe

So, acceptance. How do we do that? Hmm, gimana yah… pertama-tama mungkin kita harus menyadari terlebih dahulu satu kebenaran sederhana ini: tidak ada makhluk (manusia) yang sempurna. We are not perfect, we are working into perfection.

Kedua, ingatlah bahwa untuk bisa mencintai sesuatu atau seseorang dengan benar maka kita harus menerima dia seutuhnya. Dan itu berarti menerima tidak saja kelebihan-kelebihannya, tapi juga apa pun semua kekurangannya. Stay cool and just take it. TAKE. IT.

Dan bisa jadi kebesaranmu ditentukan oleh seberapa besar yang bisa kau terima. Seberapa kesulitan/tantangan yang bisa kau tahan. Ada orang berkepribadian sulit? Menyebalkan luar biasa dan benar-benar tak tertahankan? —btw, masa sih ada orang kayak gitu, guys? J hehe… sok gak pernah nemuin. Maksudku, orang memang bisa sangat ngeselin, tapi mungkin saja karena pada saat itu kita begitu terbawa suasana dan terpusat hanya pada satu hal yang sangat mengesalkan itu? Maksudku, kita sedang dalam posisi untuk tidak memberikan penilaian yang adil karena kita hanya melihat dari satu sudut saja. (Ups wait, kita memang tidak pernah dalam posisi untuk menilai siapa pun selain diri kita) Kita sedang terpaku pada satu kelemahannya, dan melupakan bahwa pribadi yang menjengkelkan itu juga adalah makhluk Tuhan dengan ruh Tuhan di dalamnya—yang pasti mengandung kebaikan, tidak hanya berisi yang menjengkelkan itu.

So, what I’m trying to say is, bahwa sikap terbaik untuk menghadapi sesuatu atau seseorang atau apa pun yang tampak sulit untuk diterima adalah dengan mencoba menerimanya. TAKE. IT. ;p []

bekasi, some midnite

Friday, October 28, 2011

Kekonyolan vs Kearifan


I’ve been wondering, apa ada hubungan antara kekonyolan dan kearifan. Kekonyolan dalam KBBI dijelaskan sebagai perihal konyol; kekurangajaran. Sementara konyol sendiri diartikan tidak sopan; kurang ajar; agak gila; kurang akal; tidak berguna; sia-sia.

Aku tiba-tiba berpikir mungkin kedua kata ini ada kaitannya, karena seringkali kujumpai karakter yang sering menunjukkan kekonyolan juga di lain waktu menampakkan kebijaksanaan yang luar biasa. Maksudku ‘kujumpai’ adalah kutemukan dalam film atau buku. Di dunia nyata aku belum menemukan banyak contoh untuk karakter konyol+bijak ini. Yang kerap kutemui—dan sepertinya sudah merupakan suatu kebenaran—bahwa orang cerdas biasanya lucu atau punya selera humor tinggi. Semakin cerdas semakin lucu J

Film yang melatari asumsiku itu adalah sebuah serial TV luar negeri yang sangat kugemari. Merlin. Tokoh favoritku di film itu juga bernama sama dengan judul filmnya, Merlin. Tokoh sangat luar biasa, tapi sekaligus yang kelihatannya paling biasa kalau Anda perhatikan sekilas dari tampilan luarnya saja. Dia seorang pemuda dengan standar penampilan yang biasa—tidak jelek dan juga tidak terlalu tampan. Postur juga tidak macho, bahkan cenderung kerempeng. Pembawaannya secara umum ceria. Auranya positif karena sangat baik hampir kepada semua orang. Soal keahlian—di luar bakat sihirnya—Merlin bukan orang yang jago dalam hal tertentu, tapi dia orang yang cepat belajar. Gayanya selenge’an agak slebor, kadang bahkan terkesan ceroboh atau sembrono. Dan, dalam beberapa hal sering melakukan kekonyolan—entah dengan kata-katanya, sikap, atau tindakannya. Hmm, J

Itu dari sisi luarnya. Yang lebih dalam dari itu, Merlin adalah karakter yang luar biasa bijaksana dan besar hati. Dia senang berbuat baik kepada orang lain tanpa pamrih. Boro-boro pamrih, pengakuan pun sering tidak dia dapatkan, dan dia tidak masalah dengan itu. Entah sudah berapa kali Merlin menyelamatkan tuannya (Arthur) dari marabahaya bahkan kematian, tanpa seorang pun yang mengetahui—termasuk Arthur sendiri. Karena itu balasan yang sering dia terima bukannya ucapan terima kasih atah imbalan berharga, melainkan justru bentakan dan cacian. Hmmm. Dan Merlin tidak pernah protes atau jadi menyesal karena sudah melakukan kebaikan. Luar biasa ‘kan hatinya?? Hebattt!!! Aku mau punya hati seperti itu, Tuhan. Do You hear me?? I want that kind of heart! (I know your hear me, God. I didn’t mean to shout—sorry J )

Jadi, untuk asumsi konyol+bijaksana, Merlin bisa jadi bukti. Yang lain? Ada. Abu Nawas? Nasruddin? Ah, aku kira asumsiku ada benarnya, dan mungkin ada contoh lain yang aku tidak/belum tahu.

Lalu, kenapa kira-kira kekonyolan bisa berjodoh dengan kearifan atau sebaliknya? Salah satu alasannya menurutku, adalah karena untuk tampak konyol diperlukan jiwa yang besar, yang tidak berego tinggi. Berapa banyak orang yang rela tampak bodoh/konyol di hadapan orang lain? Hanya orang yang sudah tahu dan yakin dengan nilai sejati dirinya, yang tidak keberatan tampak seperti itu.

Mungkin itu sebabnya para nabi tidak sakit hati dan sewot ketika mereka dihina-hina para musuhnya. Mereka sudah mengetahui dirinya—menyadari nilai dirinya yang sebenarnya.

Singkatnya, berlian dilempari lumpur tetaplah berlian—tidak lantas turun derajat jadi batu kotor murahan. Dan monyet dikasih kalung berlian dan gaun malam mewah tetaplah monyet, yang pasti selalu pecicilan apalagi di dekat meja prasmanan.

So, intinya…. Entah itu konyol atau bijaksana, atau sifat apa pun yang lainnya, hanya akan sejati kalau Anda benar-benar menjadi. Maksudnya, dalam asumsi konyol+bijaksana, sifat yang pertama tidak menandakan kebodohan yang sebenarnya; sementara yang kedua, bijaksana, adalah karakter sejati yang diresapi dan diwujudkan dalam sikap tindakan. Dengan kata lain, Merlin misalnya, dia menjadi bijaksana—bukan hanya kelihatan bijaksana. Sejatinya dia memang bijaksana, dan sejatinya dia tidak konyol seperti sering kelihatannya. Itulah sebabnya konyol+bijaksana bisa “bersatu”.[]

Bekasi, 28 Oktober 2011

11.43 WIB