Friday, July 03, 2009

Lupa

kau memberiku bukan yang terbaik
dan aku merasa terusik
mengapa bukan yang terbaik?

apa sebenarnya masalahmu padaku
salah apa pernah kubuat padamu
hingga kau merasa pantas memberiku
yang kedua
yang tiada kusuka

tapi aku berpikir kembali
mungkin bukan tentang kamu semua ini
tapi sesuatu jauh di lubuk hatiku
yang kabur atau terkubur tak pernah kutahu

bahwa aku telah berharap padamu
untuk menunjukkan sedikit hormat padaku
ugh, siapa kini yang bodoh!!

kebodohan itu
aku lupa kembali melakukannya
mengira hormatmu—atau siapa saja—penting bagiku
lupa bahwa eksistensiku sama sekali
tak berkait terhubung dengan semua itu


20 Juni ‘09

Wednesday, July 01, 2009

Syahrir dan Perempuan

Terlahir pada 5 Maret 1909 sebagai putra Minang dan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah terbaik saat itu, telah menumbuhkan Syahrir sebagai pemuda yang matang dalam cara berpikir dan kepribadian. Untuk tingkat pendidikan dasar ia menjalaninya di sekolah ELS dan Mulo terbaik di Medan, kemudian dilanjutkan pendidikan menengah atas Algemeene Middelbare Scholl (AMS) jurusan Westren Klassiek di Bandung. Yang terakhir pun adalah sekolah mahal yang didirikan Belanda saat itu.

Sepanjang riwayat pendidikannya itu Syahrir dikenal sebagai siswa yang cerdas, cepat menangkap pelajaran. Bacaannya bukan hanya buku-buku pelajaran melainkan buku-buku asing dan novel Belanda. Sementara itu di luar sekolah—terutama ketika di AMS—ia aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi yang menempa dan melengkapi proses pertumbuhannya sebagai pemuda yang cerdas dan matang.

Di AMS ia terlibat beberapa kegiatan penting di antaranya aktif dalam sebuah study club bernama Patriae Scientaieque (PSQ) yang artinya ‘untuk tanah air dan ilmu pengetahuan’. Selain itu ia bergabung dalam Jong Indonesia atau yang lebih dikenal kemudian dengan Pemuda Indonesia. Kiprahnya yang paling menonjol pada masa ini adalah keberhasilannya mendirikan suatu perguruan nasional “Cahya” yang bertujuan membantu upaya memberantas buta huruf di masyarakat. Dari sini jiwa kepeduliannya untuk mencerdaskan dan meningkatkan martabat bangsa sudah mulai tampak.
Selesai menamatkan AMS di Bandung, pada 1929 Syahrir muda lantas melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Di sana ia mengambil studi jurusan hukum di universitas Leiden.

“Selama sesungguhnya kebinatangan di dalam manusia lebih kuat, maka selama itu pula tidak berguna segala propaganda untuk menginsafkannya.”


Adil dan Berani
Diceritakan bahwa dalam sebuah forum rapat di Bandung bersama Soekarno dan kawan-kawan, Syahrir melakukan tindakan yang cukup mencengangkan. Dalam suasana rapat itu Soewarni yang Ketua Poetri Indonesia mengkritik dan mendebat Soekarno. Soekarno yang tidak terima sontak menanggapi dengan mencaci dan banyak menggunakan bahasa Belanda.
Syahrir selaku pimpinan forum segera mengetukkan palu dan meminta Soekarno agar tidak menggunakan bahasa Belanda dan lebih menghormati perempuan.

Yang mengagetkan sebagian orang ketika itu—terutama para pendukung Soekarno—adalah keberanian Syahrir menegur sang ‘idola’ revolusi paling popular saat itu, Soekarno. Demi kepentingan membela seorang perempuan pula. Tetapi itulah Syahrir, yang tak gentar pada siapa pun dalam mengemukakan kebenaran tanpa sama sekali merasa khawatir dengan konsekwensi-konsekwensi dari tindakannya yang tegas dan terbuka itu.

Tanpa teori atau pernyataan eksplisit mengenai sikap dan pandangannya terhadap kaum perempuan, dari insiden ini kita bisa melihat bagaimana sikap Syahrir terhadap kaum perempuan. Pada masa itu—bahkan pada saat ini di beberapa tempat—di mana budaya patriarki masih lekat dengan sebagian bangsa Indonesia, sikap Syahrir di atas merupakan suatu kemajuan dan keberanian. Meski tidak ada penjelasan tertulis mengenai hal ini, sikap Syahrir tersebut bisa kita pahami dari catatan-catatan pemikirannya yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Betapa dia amat mempedulikan sesamanya dan mendambakan kebebasan dan kesejahteraan bagi setiap manusia, karena sejatinya setiap manusia adalah makhluk yang merdeka dan berpotensi tak terbatas.

Melihat Potensi
Sementara itu semasa studinya di negeri Belanda, di sana ia bertemu seorang mahasiswi asal Indonesia, Maria Ulfah Subadio. Ia adalah seorang putri Bupati Kuningan yang sedang belajar di fakultas Hukum Universitas Leiden. Sebagaimana diceritakan Maria dalam buku Mengenang Syahrir (Gramedia, 1980), suatu kali setelah berkenalan Syahrir menanyakan bagaimana rasanya Maria menjadi anak gadis Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Dari satu pertanyaan pembuka itu kemudian Syahrir mengetahui bahwa Maria kurang lebih memiliki semangat dan cita-cita yang selaras dengan cita-citanya membangun bangsa. Syahrir kemudian mengajak Maria ke pertemuan liga anti-kolonialisme yang diadakan di Gedung Bioskop Hooge Woerd di Leiden. Di sana ia memperkenalkan Maria Ulfah kepada sang pembicara utama, Jef Last.
Dari sini pun tampak sikap dan cara pandang Bung Kecil ini terhadap kaum perempuan. Ia sama sekali tidak meremehkan atau membedakan potensi dalam diri kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam keduanya ia melihat potensi yang sama—sama-sama sebagai manusia—untuk tumbuh dan berkembang menjadi dirinya yang terbaik.

Kepercayaannya kepada Maria Ulfah tidak berhenti ketika mereka berpisah karena Syahrir harus pulang ke Indonesia lebih awal. Pada masa kepemimpinanya di kabinet ia mempercayakan suatu kedudukan yang penting kepada Maria, menteri sosial. Selain karena potensi dan semangat yang diperlihatkan dalam diri Maria Ulfah, hal seperti ini akan sedikit mustahil jika tanpa adanya kepercayaan dan pandangan yang terbuka dari Syahrir, bahwa seorang perempuan pun bisa melaksanakan tanggung jawab yang besar. Berkat persinggungannya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan khasanah kebudayaan, Syahrir memang dikenal memiliki pola pikir dan pandangan jauh ke depan yang melampaui zamannya.

“Kemerdekaan hanyalah merupakan jembatan untuk mencapai tujuan yaitu kerakyatan; kemanusiaan; kebebasan dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan; keadilan; pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme; pendewasaan bangsa.”


Memandang Setara
Hal lain yang perlu diingat mengenai Bung Kecil yang berbuat besar ini adalah saat-saat ketika ia menjalani masa pembuangannya di Banda Neira. Ketika baru-baru saja dipindahkan ke sana dari Boven-Digoel, Mohammad Hatta memperhatikan bahwa ada kemungkinan Syahrir yang riang akan dilanda demam kesepian. Dan itu tentu saja membuat beliau khawatir karena Hatta sendiri senantiasa berpesan kepada kawan-kawannya seperjuangan yang diasingkan agar menjaga diri dari pengaruh buruk kondisi dan situasi dalam pembuangan.

Namun kekhawatiran itu tak terjadi karena rupanya Syahrir menemukan penghiburan dan kegembiraan dengan kehadiran anak-anak yang dikenalnya di lingkungan baru tempat dia tinggal. Mereka adalah anak-anak Banda berusia 8-10 tahun, yang belum atau tidak bersekolah karena keadaan yang tidak memungkinkan. Lebih jauh dari sekadar menghabiskan waktu dengan bermain bersama, Syahrir memberikan pendidikan rutin kepada anak-anak itu. Ia mengajarkan kepada mereka pelajaran membaca, berhitung, sejarah, bahasa Belanda, dan lain-lain. Dari beberapa anak yang rutin belajar padanya, di kemudian hari ketika ia bersama Hatta dipindahkan ke Sukabumi, Syahrir membawa serta bersamanya tiga orang di antara mereka. Ketiga anak ini menjadi anak angkat Syahrir: Lily, Mimi, dan Ali.

Sebagaimana dituturkan dalam kumpulan tulisan Mengenang Syahrir (Gramedia, 1980), para anak asuh ini menggambarkan sosok Syahrir yang sangat menyenangi anak-anak dan selalu bergembira jika sedang bersama mereka. Ia tidak hanya menemani bermain atau memberikan pelajaran, tapi juga mengajak jajan-jalan menikmati keindahan alam sambil bernyanyi lagu Indonesia Raya.

Cara Syahrir menghabiskan waktunya dengan anak-anak, caranya mencintai dan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, mencerminkan karakter dan kepribadiannya yang sangat simpatik. Tanpa membeda-bedakan perlakuan dan penilaian terhadap anak laki-laki atau anak perempuan, ia sepertinya menganggap anak-anak adalah benih-benih kekuatan di masa mendatang yang layak mendapatkan curahan perhatian dan kasih saying penuh dari dirinya. Lagi-lagi, Syahrir selalu menyadari segala sesuatu lebih awal dari yang lain. Di kala kebanyakan masyarakat cenderung acuh tak acuh terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak-anak pada usia sangat dini, Syahrir telah mempraktekkan penghargaan dan perhatian yang besar kepada anak-anak.

Baginya anak-anak, laki-laki atau perempuan, adalah tunas yang akan tumbuh menjelma menjadi kekuatan yang besar jika dirawat dengan baik. Dan perawatan itu tentunya adalah melalui kasih sayang dan pendidikan.
“Bukan kehidupan kosmis yang kita kehendaki, tapi kehidupan manusia, manusia yang lebih tinggi, lebih dalam, lebih bagus sebagai jenis.”