Monday, July 07, 2008

Pengaruh Media vs Bahaya Narkoba

Dua frasa itu tidak ada kaitannya secara langsung, saya cuma mau membandingkan efek yang dihasilkan keduanya dalam kehidupan nyata. Manakah yang lebih berbahaya?

Pertama, mari bicara tentang media—tapi setelah itu saya tidak berniat membicarakan narkoba ya, jadi ini pembahasan yang pertama dan terakhir, hehe. Pada zaman sekarang, saya rasa inilah kekuatan raksasa mahadahsyat, yang sebagaimana semua senjata sakti bisa sangat bermanfaat sekaligus mungkin mendatangkan kematian bagi sang empunya. Hiiyyy ngeri… gak percaya? Sebagai permulaan, tonton aja “Mad City” garapan sutradara Costa-Gavras.

Kata orang-orang bijak, juga menurut kitab suci suatu agama, ekstremisme atau berlebih-lebihan dalam hal apa pun mendatangkan hasil yang tidak baik. Saya kira begitupun halnya dengan media atau profesi jurnalisme. Pada titik tertentu ia bisa bertolak belakang dengan tujuan awalnya: menyediakan informasi akurat nan jujur dan adil paling up to date bagi khalayak.

Dalam film Mad City, tokoh utama Sam Baily, yang diperankan dengan sangat baik oleh John Travolta, adalah contoh korban ekstremisme media. Terlepas dari keluguan dan kebodohan ‘bawaan’ sang tokoh, ia telah menjadi bulan-bulanan para penjahat media yang rakus dan hanya menggunakan sedikit pertimbangan kemanusiaan. Mengedepankan keuntungan bisnis baru menyesal kemudian, itu pun kalau cukup punya nurani dan rasa kemanusiaan, kalau enggak ya cuek aja.

Keterlibatan media dalam peristiwa yang sedang dialami sang tokoh memang tidak secara langsung dan kasat mata melukai atau membunuhnya. Tapi pada akhirnya memang media lah yang telah membunuhnya. Di dalam film tersebut diceritakan sang tokoh yang sudah terkepung para polisi dan anggota FBI akhirnya memutuskan bunuh diri dengan meledakkan granat. Dia memilih mati setelah beranggapan bahwa masa depannya pasti akan ‘kelam’—yang tentu saja ini adalah hasil kerja media yang telah dengan gemilang berhasil memblow-up cerita dirinya sampai jadi berita dunia. Sam, dari seorang pegawai biasa yang sama sekali tidak popular menjadi kriminal berbahaya yang mendapat kecaman seluruh dunia. Terlepas dari keluguan dan kebodohan ‘bawaan’nya, yang paling memungkinkan semua itu tentu saja adalah media. See …. Ngeri banget kan?

Jadi, bagi kita yang bukan orang-orang media, inilah film yang memperingatkan kita untuk lebih berhati-hati dengan dampak besar media, bahwa ternyata media bisa ‘sekejam’ itu.

Sementara bagi sebagian kita yang merupakan orang-orang media, please … jangan—atau jangan terlalu seringlah—melampaui batas (cross the line), toh kita sama-sama manusia yang punya hati nurani, yang pasti akan merasa ‘tidak enak’ kalau menyadari bahwa tindakan kita telah membantu orang lain mengakhiri hidupnya sendiri.

Jadi, lebih berbahaya mana kalo dibandingkan dengan penyalahgunaan narkoba? Saya yakin Anda lebih tahu jawabannya, yang jelas keduanya bisa mengantarkan seseorang pada kematiannya.[]

Monday, March 31, 2008

Humor & Islam

Humor atau joke dalam bahasa Inggris kurang lebih berarti kejenakaan, candaan, yang salah satu tujuan utamanya adalah menimbulkan tawa. Bentuknya pun bisa sangat beragam mulai dari cerita—yang panjang maupun singkat, sekadar celetukan, atau selingan dalam pembicaraan yang serius—apa pun, yang ujung-ujungnya bikin sudut bibir tertarik atau tawa meledak.

Pertanyaannya kemudian, adakah humor dalam agama (Islam)? Jawabannya Ada. Nabi kita pun diceritakan bercanda dalam beberapa kesempatan. Yang perlu diperhatikan adalah ‘aturan tersembunyi’ dalam bercanda ala Islam. Dengan adanya beberapa aturan ini, tidak semua orang pandai menciptakan atau bahkan sekadar bisa menikmati suatu humor—terutama humor cerdas, yang tertawa bukan menertawakan.

Lantas, adakah humor dibahas secara khusus dalam al Quran? Sepertinya tidak. Kenapa? Karena, menurut saya, humor itu ibarat sebuah bumbu dapur. Ia bukan bahan utama. Ia adalah pemberi rasa. So, anda bisa memasak suatu bahan makanan tertentu tanpa menggunakan satu bumbu, misalnya. Ia tetap akan menjadi sebuah masakan yang bisa dimakan, hanya saja mungkin kurang lezat.

Dengan kata lain, anda masih bisa hidup tanpa humor, but your life will be ‘vewy vewy bowing’ alias ‘gawing’

whahaha….

Kemudian Om Ichan mengabarkan, kok orang Islam dikit banget yang pake atau suka humor? Makin islami kok ya makin ngeri—baca=jauh dari humor?

Menurut saya gini Om, itu karena humor berkaitan erat dengan kecerdasan. Untuk menciptakan humor yang baik (terutama menurut agama kita) kita harus tetap memegang nilai-nilai moral di antaranya jangan boong, jangan menghina, menyakiti, atau mempermalukan sesuatu atau seseorang,dan pastinya jangan menyesatkan. Intinya, kita berhumor untuk tujuan yang baik-baik—menghibur, menciptakan perenungan, menyampaikan pesan moral, dst. Landasannya, kita tertawa tetapi bukan mentertawakan orang lain. sadisnya, jangan terbahak-bahak di atas penderitaan penderitaan orang lain.


Mengapa orang islam sedikit humor?


They might be:

Ø too afraid—of being wrong, of not good enough

Ø too careful

Ø too narrow-minded

Ø confuse seriousness and stiffness (padahal kesungguhan gak ada hubungannya sama kekakuan lho sodara saudagar…)

Ø too vulnerable…hehe, (secara rasa terlalu gampang tersinggung dan ‘terluka’ whahaha…dan kurang berlapang dada, kegedean pride ato bangga sama yang ngga-ngga)

Ø got no bloody flexibility,

Ø got no damn fast-thinking and creativity. Hihi… jadi sekali diserang langsung mati atau tanpa ba bi bu bikin sang penyerang mati (dalam arti yang sesungguhnya kali ini)

Shortly, just not intelligent—intellectually + emotionally—enough to create and take humor in their lifes.

Padahal dunia ini hanyalah sekadar ‘lahwun wa la’ibun’. Poor Moslems…

Ciputat, 29 Maret 2008

Soeharto; Apanya yang Dimaafkan?*

Oleh: Aisyah


Kian hari, kabar kondisi mantan presiden RI Soeharto semakin menjadi berita utama. Berbagai kalangan pun ramai-ramai memberikan opini. Perdebatannya seputar kondisi terkini Pak Harto, kasus hukum yang bersangkutan, hingga persoalan dimaafkan atau tidak ‘bapak pembangunan’ kita ini.

Persoalan “maaf-memaaafkan” ini sungguh jadi menarik. Ada yang menggunakan dasar agama, moral, sampai kemanusiaan. Padahal apa dan kenapa harus ada ‘maaf-maafan’ ini saja belum jelas benar. Dan lagi, apakah prosesnya sesederhana itu? Seperti dua insan bertemu saat lebaran dan bersalaman sembari saling meminta maaf, lalu tertawa bersama—lega, merasa tak ada lagi dosa?

Berbicara maaf-memaafkan tanpa jelas apa/siapa dan kenapa ada sikap ini, adalah penyederhanaan persoalan yang semena-mena. Terkait dengan kondisi kesehatan dan kasus hukum Pak Harto, persoalannya tidak sesederhana seperti dua orang bersalam-salaman di hari lebaran. Ada berbagai peristiwa sejarah yang tidak bisa bangsa ini lupakan begitu saja.

Dalam bukunya The Missing Link, Sydney Banks mengatakan bahwa ada perbedaan besar antara memaafkan orang dan memaafkan perbuatan. Saya sangat setuju.

Di satu sisi, memaafkan orang berarti membebaskan diri dari perasaan-perasaan negatif dan atau ingatan-ingatan kelam di masa lalu. Dari sudut kesehatan dan psikologi, tentu ini sangat baik kita lakukan. Sangat menyehatkan. Namun di sisi lain, memaafkan perbuatan adalah ‘merelakan’ diri untuk diperlakukan dengan perbuatan serupa di masa depan.

Bagi saya jelas sekali perbedaannya. Yang pertama adalah tindakan bijak, yang kedua adalah tindakan bodoh. Kenapa?

Sekali lagi, memaafkan orang adalah sungguh perbuatan yang mulia. Dibutuhkan lapang dada atau kebesaran hati untuk bisa memaafkan perbuatan salah seseorang terhadap diri kita. Dengan rendah hati kita harus menyadari bahwa manusia tidak lepas dari lupa dan kesalahan. Tidak ada manusia yang sama sekali luput dari lupa atau kesalahan. Termasuk nabi sekalipun. Dan sebagai konsekuensinya, kita mesti ‘ikhlas’ menerima ‘ongkos’ dari perbuatan lupa atau salah tersebut. Sungguh bukan perbuatan yang mudah, terutama jika kita mengalami sendiri dampak dari perbuatan lupa dan salah tadi. Dan jelas, dampak di sini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, baik itu merugikan maupun menyakitkan.

Dalam kasus Pak Harto, berapa banyak orang yang mengalami kerugian dan kesakitan selama masa hidup di bawah rezim kekuasaannya? Semua tuduhan yang sekarang ditujukan padanya—korupsi, kolusi, nepotisme dan jenis pemanfaatan kekuasaan lainnya untuk kepentingan pribadi selama berkuasa, jika itu terbukti benar, adalah bukan perbuatan yang sepele dan bisa begitu saja dilupakan. Butuh kebesaran hati yang luar biasa untuk menerima semua akibat buruk lalu memaafkan orang yang menyebabkannya, dan melanjutkan hidup.

Tetapi tentu saja, kita tidak boleh berhenti di situ. Memaafkan, lalu selesai sudah semua persoalan. Kemanusiaan seseorang adalah satu hal, perbuatan-perbuatannya yang disengaja adalah hal lain. Dengan memaafkan seseorang bukan berarti melupakan begitu saja semua perbuatan buruknya.

Kita tidak hidup tanpa hukum dan aturan. Kita punya nilai-nilai yang kita junjung tinggi dalam kehidupan. Di antaranya adalah nilai keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Bagi setiap perbuatan salah, ada hukum yang harus ditegakkan. Demi keadilan, siapa pun yang berbuat salah maka dia dikenakan sanksi atau hukuman. Dan Indonesia, sebagai negara yang mengaku negara hukum, proses ini tentu tidak bisa diabaikan. Apa pun alasannya.

Dalam hal ini, kita tentu tidak ingin menjadi bangsa yang lugu dengan mengaburkan makna memaafkan. Sok menjadi bangsa yang pemaaf, tapi terjerumus pada kebodohan membiarkan diri diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Idealnya, kita adalah bangsa besar yang bisa memaafkan. Pengalaman sejarah kita jadikan pelajaran dalam bersikap ke depan, bukan kita lupakan.

Dalam rangka menjadi bijak, mari kita maafkan seorang Soeharto dengan cara tidak membenci dan menghujatnya di saat dia dalam kondisi kesehatan yang kritis. Dan dalam rangka menjadi bangsa yang cerdas, mari kita teruskan proses hukum atas kasusnya sampai tuntas. Dari situ semoga kita bisa belajar untuk tidak membuatnya terulang di masa depan, siapa pun pelakunya.[]

*dibuat dan dikumpulkan pada Sabtu 26 Januari 2008, sebagai PR untuk kelas ’menulis di media’ oleh Farid Gaban. J